Rabu, 14 September 2011

Kata Serapan

. Kata Serapan .
Kata Serapan adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah sudah diintegrasikan ke dalam suatu bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum.

            Berdasarkan taraf integrasinya, kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 2 golongan besar.
Pertama, kata serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, long march, dan lain-lain. Kata-kata ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing.
Kedua, kata serapan yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.

Bahasa yang paling banyak diserap kata-katanya, berdasarkan referensi penulis, adalah bahasa Belanda yang mencapai 3.280 kata. Hal ini terutama disebabkan lamanya masa penjajahan oleh bangsa Belanda yang mencapai 3,5 abad. Bahasa Belanda dipakai hingga masa pergerakan kemerdekaan dalam komunikasi gagasan kenegaraan dan tentunya juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda :
o   advokat (advocaat),
o   brankas (brandkast),
o   demokrasi (demokratie),
o   eksemplar (exemplaar), dan lain-lain.

Setelah bahasa Belanda, yang menempati peringkat kedua dalam penyerapan kata-katanya adalah bahasa Inggris. Jumlah kata yang diserap dari bahasa Inggris adalah sebanyak 1.610 kata.
Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Inggris :
o   aktor (actor),
o   aktris (actress),

Minggu, 11 September 2011

terbang, hilang

Biar ku pejamkan rintik
Dalam biru dan putih zambrud
Aku terbang dan hilang
Diantara nafas dan segala pengharapan

Sementara kau duduk dikolong
Aku berlari mencari
Nantikan aku dalam biru
Sebut namaku diatas putih

bait untuk hatiku

Aku ingin menulis dibawah senja
Aku ingin menulis merangkai kata
Bukan untuk kamu, dia atau mereka
Aku ingin menulis untuk hatiku
Aku ingin berkisah sore ini
Ntah kisah apa yang akan ku poles
Akupun tak tahu.
Oh jingga, aku ingin menulis dibawah senja
Aku ingin lagi-lagi berkisah
Tentang apapun tentang siapapun
Bukan untuk kamu dia atau mereka
Tapi untuk satu jiwa, satu nama, hatiku
Apa kabar kau sore ini ?
Sudahkah kau tersenyum dan terlelap dalam buaian masa ?
Aku temukan dunia baruku, tak lagi ku kenal dunia dulu
Satu yang ku tahu, aku ingin menulis untuk hatiku
Jika dia temukan tenang dalam temaram bulan, tak ubah dengan ku
Aku temukan sejuknya lewat jingga
Aku tulis apa yang hatiku kata
Hanya untuk hatiku semata
Bukan karena aku terbelenggu ataupun apa
Yang ku tahu, ini panggilan jiwa
Sama seperti yang dia kata, akupun ingin menulis takdir
Bukan menulis tapi aku ingin mengukirnya lewat huruf dan kata yang ku rangkai
Tulisan takdir itu Tuhan yang punya
Tinggal kita rangkai dan pahami takdir itu kemudian rangkai dalam kata dahsyat dalam hati
Niscaya Tuhan kan meraih rangkaian itu menjadi bait-bait takdir yang sesungguhnya
Aku suka jingga, aku mengasihi senja dan aku mengeemari hatiku.
Bagaimana rangkaian takdirmu saat ini oh hatiku ?
Sudahkah kau baitkan puisi-puisi hatimu ?

ah,

simpangku mengangguk
lemah dan terantuk
apakah A ataukah B?
meski Y maupun Z
ah,

kini lagi siapa bercampur?
sejatinya tak perlu
ataukah hanya sayu?
hindar
ah,

simpangnya kini pergi
setapak lebih dari tempo itu
lompat, dan hap!
tangkap
ah,

biar jauh dari dekatnya
dekat dari jauhnya
usik jauh
jauh ke dekat
dekat menjauh
ah,

apakah A ataukah B?

aku yang bodoh

‘’brak..’’ buku biologi itu tersentak oleh jemari tangan nina. Ya. Malam ini nina mengutuki dirinya lagi, untuk kesekian kalinya.
Kamar bercat coklat dengan almari plastic di pojoknya itu malam ini benar-benar berantakkan. Sangat kontras dengan kamar remaja putri lainnya.
‘’ bodohnya saya. Bego.’’ Marah nina pada dirinya sendiri sambil mengotak-atik lagi hand phone putih gading yang digenggamnya sejak tadi.
Saya sayang sama kamu. Saya ga bisa tuh nutup-nutupin perasaan saya. Jangan illfeel ya kak? Saya Cuma ngomong kok. Hehe
Dibacanya lagi pesan-pesan yang ia kirim beberapa waktu lalu .
‘’ bego banget sih nina kamu tuh. Apa lah maksudnya  kirim-kirim sms gitu ke dia?’’ tanpa henti ia mengatai dirinya sendiri.
Maaf ya kak. Saya bilang kayak tadi sama kakak. Anggep aja saya nggak pernah ngomong gitu ke kakak.
Dikiriminya lagi pesan itu pada ku. aku hanya tersenyum meladeni sikap gadis kecil itu. Dan ntah apa yang merasuki ku..
Kakak juga sayang kamu nin. Tapi kayak kakak sayang sama adik kakak.udah ya. Kakak mau nonton film lagi. Bye
Send.
Ku tatap layar laptop tepat di hadapan ku itu tanpa ada perasaan bersalah. Benar-benar tak ku hiraukan lagi ponsel merah pemberian kak Fara bulan lalu itu. Semakin larut dan tenggelam ku dibuat oleh temaram bulan malam ini, yang enggan tersenyum pada seonggok manusia yang tanpa sadar meremukkan hati yang susah payah dibangun oleh gadis kecil itu.
Malam nina. Gumamku dalam hati.
Siang ini, seperti biasa, ku tapaki paping kelabu itu bersama Rara dan Jingga. Aku hanya diam. Tak seperti biasanya. Aku juga tak tahu apa yang ku rasa siang ini setelah membaca pesan Putra pada nina. Terlihat sangat akrab.
‘’  Dis, mau pesen apa kamu?’’ ucap Rara mengagetkan ku dalam lamunanku siang ini.
“ hah?’’ jawabku polos.
“pesen apa? Sekalian sama aku dan Jingga.’’
‘’nasi goreng aja deh Ra.’’ Jawab ku singkat.
Agaknya Rara dan Jingga mendapati kegelisahan ku.
‘’ apa kabar nina Dis?’’ Tanya Rara yang baru kembali dari memesan sepiring nasi goreng dan dua mangkok bakso itu
Rara memang tahu semua tentang ku dan Nina. Nina memang gadis periang, akrab dengan siapa saja. Termasuk karib ku satu ini.
‘’nina?’’
‘’nina mana sih ? peserta seminar kemarin?’’ jingga ikut nimbrung.
Rara menganggukan kepala sembari menanti mulut ku berucap.
‘’ gimana apanya? Biasa ajalah. Kamu bisa liat nggak sih Ra kalau Putra suka sama adik mu itu?’’
‘’hah putra? Anak lebay gitu. Semua-semua di sukain’’ jawab Jingga
‘’kamu cemburu kan Dis?’’
Pertanyaan Rara mendesiskan rasa dalam hati ku. entahlah.
‘’ biasa aja aku mah. Aku anggep adik sendiri udahan’’
Bohong.
Hemh… kepribadian kakak tuh unik. Aku tau kakak suka iri sama temen-temen kakak kan? Aku juga tau kalo kakak pinter ngelola emosi kakak. Nggak semua orang bisa kayak kakak loh.. J
Nina bisa aja. Kakak kagum loh sama Nina. Jarang ada cewek atraktif tapi berpendirian kayak nina.
Tersentak ku menghentakkan garpu di tangan kiriku itu mengingat sms Putra yang sengaja ku baca pagi tadi.
Rara dan Jingga terkejut dengan muka polosnya.
‘’ ngapa kamu Dis?’’ Tanya jingga
‘’aku tersedak’’ sambil berpura-pura batuk. Rara tahu aku bohong siang ini.
Kami bertiga kembali menyusuri lorong hijau menuju kelas.
‘’ nina itu asik banget ya Ra. Saya kagum dengan kepribadiannya. Easy going , ramah , manis dan lesung pipinya itu loh.. kenyes-kenyes liatnya’’ Putra berkisah pada Rara, tepat dibelakang bangku ku.
‘’ ya emang Put, dia udah saya anggep adik sendiri. Tapi manja nya itu loh Put, masih anak-anak banget.’’
‘’ emang Ra, tapi sering juga kok saya tuker pikiran dengan dia dan bener-bener dewasa jawaban-jawabannya.’’
Aih.. ntah lah. Sesak dadaku mendengarnya. Pikiran ku benar-benar kacau.
Senja ini, ada yang ku rasa berbeda. Aku rasa ada sesuatu yang hilang. Ku coba mengingat jauh menyusuri alam sadarku yang kelam. Namun tak ku dapati jawabannya. Ku raih ponsel tepat di kamar kost ku. ah. Iya. Nina . sms nina yang ku tunggu.
Ndok.. kok ga sms sih?
Operator tak menghendaki sms ku sampai pada Nina sore ini rupanya. Aku berlagak acuh dengan laptop ku yang siap menghadirkan film horror baru dari Ayu siang tadi.
Adzan maghrib berkumandang. Biasanya nina sudah sibuk dengan pesan singkatnya mengajakku untuk sholat, tapi lain dengan sore ini.
Kemana ? pikir ku. segera ku tepis ntah apa yang mendesis di dadaku sore ini dengan basuhan wudhu . segar . nyaman. Dan mengobati perasaan ku yang sedang kacau senja ini.
Rabu, Kamis, Jum’at dan sudah seminggu Nina tak menghubungi ku. mata Putra dan Rara pun sembab beberapa hari ini.
‘’ kenapa sih kalian berdua ini?’’ Tanya ku membuka wacana sambil menghampiri kedua karib ku itu.
Rara menangis melihat ku. aku tahu dadanya sesak.
Ada apa ini?
‘’ maaf Aldis kami menutupi ini semua dari kamu’’.
‘’ nina mengidap Talasemia selama ini. Dan ia mau kamu tidak tahu semua ini’’ rara memulai kisahnya.
‘’ beberapa hari ini,nina koma. Ia merongrong nyawa melawan ajal nya.’’
Hatiku serasa disambar petir.
‘’sejak seminar bulan lalu. Ia langsung dirujuk ke rumah sakit sama mama papanya.mungkin karena kecapekan’’
‘’putra, ngapa nggak bilang kamu hah?!!’’ marah ku pada putra.
‘’heiii.. makanya nggak usah sok acuh lah kamu. Nina tu sayang banget sama kamu Dis! Bego kamu nyia-nyiain orang luar biasa kayak dia! Dia nyeritain kamu terus kalau di sms. Apa kamu tahu saya iri dengan kamu?!!’’ nada putra meninggi.
Kak.. nina maw operasi loh besok. Hihi….
Hah? Operasi apa ndok?
Ga ding. Becanda. Kak, Allah sayang sama kakak loh J
Aku teringat sms nina yang tak ku ambil pusing beberapa malam lalu. Bodoh kamu Aldis!!
‘’ ngapa baru ngasih tahu aku?’’ air mata ku menetes.
‘’ nina nggak mau buat kakaknya ini sedih Dis’’.
Kata-kata rara barusan semakin mengiris hati ku sore itu.
Kini, tepat dua tahun setelah kejadian itu, aku duduk termenung mengais lagi perasaan ku yang diporak-porandakan situasi. Ku dapati satu bintang disana. Nina. Adik yang ku kasihi, aku yakin dia tersenyum menatapku dari sana yang semakin rajin bermesraan dengan Rabbi-ku. tuhan telah menamparku lewat nina.
’Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari tak ada keraguan padanya”.sungguh Allah tidak akan menyalahijanji Allah sangat berat hukuman-Nya

"sulai..oh sulai"

“sulai.. sulai..”
“satu donk dik.. yang hijau ya..”
“ satu aja pak?”
“iya.. berapa harganya?”
“dua ribu saja pak..”
Bapak berkemeja biru dongker itu menyodorkan selembar kertas berwarna merah keunguan bertuliskan nominal 10.000, dengan tergesa anak itu mencari kembalian dikantong asoy tepat diatas tutup termos dagangannya.
“ udah.. ambil aja kembaliannya buat kamu”
“tapi pak..”
“udah nggak apa-apa..”
Pemuda usia sekolah menengah atas itu tersenyum dan mulai beranjak meninggalkan bapak berkemeja itu. Seketika aku teringat sesuatu.
Siang itu, lelaki berseragam putih abu sibuk menjajakkan berbungkus susu kedelai didepan halaman mushola Al-Bayyan, mushola sekolahnya.
“duh.. Putra, rajin amat..” sejawatnya menggoda.
Lelaki itu hanya membalas dengan senyumnya.
“satu Put.. yang merah ya.” Surya menghampiri Putra.
“ satu aja Sur?”
“iya lah.. buat apa pula banyak-banyak”
Surya duduk menghampiriku, tepat disamping teremos biru tumpuanku.
“laris Put hari ini?”
“yah.. Alhamdulillah lah, itung-itung buat uang saku saya.”
“kamu ngambil stok dari mana sih Put?”
“itu loh tempat Pak Imam dekat pondok seberang. Iseng-iseng Tanya aja sih waktu itu, eeh malah ditawarin.”
“haha dasar orang angek . dagang aja pikirannya”  Surya menggodaku.
“yah itung-itung saya belajar berpenghasilan lah Sur, siapa tahu berguna buat saya kedepan.”
“orang tua-mu apa nggak pernah ngasih saku sih Put? Kayaknya motormu nggak sesuai dengan mata pencaharianmu deh  Put”
“nggak apa-apalah. Saya tu berusaha mewujudkan misi sekolah ini Sur. Nggak pernah baca apa kamu?”
“eleh gaya bener kamu Put..Put’’ Surya menertawaiku.
Teet… teet.. teet..
Bel tanda masuk yang dipencet Mas Kurnia bergema diseantero sekolah contoh dikabupaten terpuruk diprovinsi ini.
“masuk lagi Put.. dagangan aja yang kamu urusin hahaha..” gumam Surya.
Aku beranjak membenahi teremos biru yang dihuni beberapa bungkus Sulai itu. Bukan berniat cari duit secara total, namun aku hanya ingin membuktikan bahwa aku bisa menafkahi diriku sejak bangku sekolah menengah atas ini.
“ putra.. ntar jangan lupa ya hadir. Kita mau bahas program seminggu kedepan. Di mushola sepulang sekolah ya… oke?” ucap Dika dengan nada khasnya yang lembut.
“iya akhi.. syukran udah ngingetin ya. Insyaallah ana datang” balas ku.
“iya..”
Nadanya merdu sekali, lembut dan bersahaja. Dan melodi kesederhanaan Dika lenyap bersama jejak menuju kelasnya. Suara Dika khas ikhwan-ikhwan difilm remaja muslim, sangat cocok dengan jabatannya, Ketua Ikhwan Rohis Al-Bayyan.
Siang ini aku harus memaksakan diri untuk mendengarkan bapak Sejarah itu berkisah. Bukan karena mata pelajarannya tapi terlebih dengan sikap bapak itu terhadapku sebelum kejadian itu. Saat dia mendoktrin teman-teman sekelasku tentang sejarah penciptaan manusia, namun aku tidak mau didoktrinnya begitu saja.
“ manusia itu asalnya memang dari kera, jadi ya terima saja kalo kalian semua itu keturunan kera. Lihat teori darwin dibuku kalian.”
Teman-teman ku hanya bisa menggerutu di belakang.
“maaf pak.. menurut kitab saya, manusia itu asalnya dari Nabi kita semua pak. Nabi Adam AS dan sepengetahuan saya teori Darwin itu sudah lama gugur pak”
“eee kok kamu ngeyel sih? Siapa gurunya ? berani bener kamu bilang gitu ke saya”
“ tapi bisa kita lihat di internet pak atau sumber-sumber lain.”
“kamu tu sok tahu. Anak kecil aja sok tahu. Buku mana yang ngomong kayak gitu? Coba tunjukin ke saya kalo memang ada.”
Udah salah ngeyel lagi. Dikira saya takut apa? Saya berani kok datengin bapak karena saya memang bener. Agama saya mengajarkan seperti itu pak. Ah bapak ini, pengen ketawa saya liatnya.
Aku menjinjing beberapa kitab berdasar hadist dan Al-Qur’an ditangan kanan ku dan beranjak mendatangi bapak sejarah itu. Beliau satu dari beberapa insan yang diamanahi sebagai wakil kepala sekolah, jadi ruangan beliau terpisah dengan guru-guru mata pelajaran lain dan satu ruangan dengan beberapa wakil kepala sekolah.
“ maaf pak permisi..ada waktu sebentar?”
“mau aoa kamu? Saya sibuk.”
“saya hanya ingin meluruskan masalah kemarin pak supaya semuanya transparan dan mengerti adanya.”
“saya sibuk!” ketus nadanya
“baik pak.. saya masih mengharapkan waktu bapak yang berharga itu untuk meluruskan perdebatan kita pak. Permisi .”
Aku beranjak meninggalkannya.
“ehh sini-sini kamu. Ya sudah. Nggak pake lama ya”
Gimana lah bapak ini ? bingung aku.
Aku mencoba menjelaskan panjang lebar sesuai dengan dasar yang terkandung dalam kitab-kitab ini dan beberapa lembar sumber dari internet. Agak sukar mungkin untuk ia pahami namun aku tetap terus menjelaskan sampai akarnya.
Yah. Tuhan maha Kuasa, akhirnya ia menyerah dengan segala penjelasanku dan mengaku kalah. Sejak saat itu—ku rasa bapak itu menaruh respon terhadapku. Dan pernah suatu ketika beliau memanggilku. apa aku punya salah? Pikirku.
“eh.. ada undangan lomba nih di provinsi.saya rasa kamu berminat dan mau mewakili sekolah dalam kompetisi ini.” Nadanya berwibawa.
“oh.. dengan senang hati pak. Terimakasih ya pak”
Beliau menyodorkan amplop yang berisi undangan dari dinas provinsi itu padaku.
Namun, sikapnya saat ini benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat padaku. Baik. Baik sekali tapi entah kenapa aku malas meladeninya.
Usai rapat siang ini, Dika menghampiriku . mengajakku berdialog empat mata.
“putra, kita tau ya kalo kas Rohis menipis sekarang-sekarang ini. Aku dari semalem nyari-nyari solusi tapi nggak ketemu-ketemu. Kira-kira kamu bisa bantu nggak atau ada ide gitu?”
“ gimana kalau kita kerahkan anggota rohis untuk jalanin program BUM kita. Missal, jualan-jualan apa gitu atau lewat publikasi perpustakaan kita.”
“kalau perpustakaan sudah dicoba Put, tapi masyaallah kesadarn siswa untuk membayar kewajibannya susah banget. Jangankan bayar, buku malah banyak yang nggak dipulangin lo..”
“ya udah BUM aja yang kita coba memotori dulu dik”
“ aku kepikiran sih soal ini Put, gimana kalau lewat sulai mu itu Put?”
Aku diam.
“gimana ? ayolah Putra..”
“iya oya. Aku rasa bisa. Jadi masing-masing kelas ada penanggung jawab distributor sulai ini dan distributornya harus anak rohis. Gimana?”
  bisa-bisa. Jadi kapan kita bisa mulai put? Kalau bisa sesegera mungkin ya soalnya kas semakin menipis belum lagi sebentar lagi kita ngadain class meeting.”
“iya kita agendakan dulu dengan agennya”
Distributor Rohis mulai gencar dan ramai. Penjualan sulai tiap kelasnya semakin membuat siswa-siswi nyaman tanpa harus ke kantin. Roda kas Rohis yang semula kekurangan angin kini mulai tertata rapih dan dapat berputar kembali. Sampai suatu siang aku dipanggil bapak Kesenian itu untuk menghadap beberapa wakil kepala sekolah mengenai penjualan sulai ini.
“kamu itu anak sekolah tuganya ya belajar, kenapa harus jual-jualan segala sih?”
“ maaf pak.. bu.. saya disini hanya berjualan ketika jam istirahat. Jadi saya rasa tidak mengganggu jam KBM.”
“kamu tu masih SMA udah jual-jualan. Nggak malu apa kamu?” ketus guru ekonomi itu pada ku.
“sekali lagi maaf bu, saya hanya ingin mewujudkan misi-visi sekolah ini”
“yang mana ? kamu itu alasan aja”
“ menciptaka lulusan yang mandiri, kreatif dan berwawasan global dengan landasdan iman dan taqwa”
“nggak usah bawa-bawa visi misi sekolah. Yang jelas tugaskamu sebagai pelajar tu ya belajar. Nggak lebih”
“tapi pak…..”
“sudah-sudah. Saya nggak mau tahu. Sekolah nggak mau tahu besok harus mulai berhenti usahamu itu. Kalo memang masih saya lihat atau dengar, saya siapkan surat panggilan untuk orang tua kamu.”
Hati ku marah dengan ketidak adilan ini, aku hanya benar-benar ining mewujudkan visi sekolah itu dan belajar bagaimana cara mempertahankan hidup jika kelak aku berada dalam kesulitan. Halnya menghidupkan pilar-pilar kas rohis yang hamper rubuh itu.
Kami marah dan kecewa. Aku disini berdiri dengan ketidakpuasan ku terhadap argumensi yang tidak mereka dengar itu. Kapan sekolah, kabupaten dan provinsi ini maju kalau terus-terusan langkah kami dihalangi seperti ini. Tapi aku yakin, suatu saat mereka akan tahu dampak dari semua ini.
Motor bagiku untuk membuktikan siapa aku dan kesanggupanku menyongsong hidup jauh didepan mereka. Membuktikan kesia-siaan mereka dalam menghalangi langkah seorang penjual susu kedelai dalam membangun roda-roda kas organisasi kesayangan Tuhan disekolahku ini. Dan menekankan pada sebuah langkah penjual susu kedelai yang mereka cibir dahulu.
‘’Putra.. gimana ? bisa nggak?” Ardiyaksa mengagetkan ku.
“astaghfirullahhalazim..” aku terbangun dari lamunan ku.
“ gimana ?”
“gimana apanya ?”
“kamu nih nggak dengerin aku to dari tadi?”
“emang kamu ngomong apa Sa?”
“masyaallah.. tentang tawaran SMA  ke kamu.”
“tawaran apa sih aku nggak mudeng”
Adiyaksa menggaruk-garuk kepalanya tanda bingung.
“ SMA  ngotot ngundang kamu jadi trainer buat acara motivasi kelas XII minggu depan”
“wah.. kok bisa?”
“iya sekolah lihat profilmu dimajalah yang di bawa sama si Seta tempo hari. Kamu trainer termuda di Indonesia kan?”
“ah biasa aja. Wah.. insyaallah saya bisa Sa soalnya minggu depan jadwal saya break.”
“wah nggak keganggu nih kamu?”
“nggak.. nggak apa-apa kok”
Terimakasih ya Rabbi engkau membuka bingkisan manis itu saat ini. Sekoalah yang melecehkanku kini mengharapku. Engkau maha pengasih ya Rabbi. Keyakinan ku ternyata Kau simpan rapih dibalik bingkisan senja ini. Aku tahu, semua inilah jalan Kasihmu padaku, seorang penjual susu kedelai yang dulu dicibir dan menjelma menjadi seorang trainer, motivator termuda dinegeri ini. Nun jauh disana, tanpa mereka sadari, engkaulah trainer dan motivator utama bagi jejakku kini.

Sabtu, 10 September 2011

tetesan masalahku

‘’yang mana sih yang mana?’’ tanyaku penasaran
‘’itu loh yang kaosnya nomer 18.’’ Jawab Adi menunjukkan sepupunya itu, Subing
“ alah yang mana sih?’’ Tanya Sila ikut nimbrung
‘’itu loh yang ditengah kaos kaki item’’
‘’heh laa.. yang itu toh?’’
‘’sama Muclik item cowokmu ya Jul’’ komentar Sila santai
‘’ ih apalah kalian itu. Udah sih. Malu saya lah’’
‘’ iya Jul, pendek lagi’’ Olan menambah-nambahi
‘’ya Allah, udah sih. Ganteng dia tu. Tinggi tau. Kalo dari deket tinggi, karena bajunya kegede’an aja makanya keliatan pendek. Ih udah lah. Malu saya tem’’ bela Julita
‘’ subing .. subing’’  teriakku.
‘’ ayo Juita semangatin si Subing biar dia gerogi..hahaha’’
Julita diam, mukanya memerah.
‘’hish apaan sih kalin. Malu euy malu’’
‘’ nggak apa-apalah biar si Subing gerogi terus kalah dan sekolah kita yang menag, ayo Jul..’’ teriakku.
Sore ini Tim Sepak bola sekolah Hijau tanding lawan Taruna Bangsa dilapangan sekolah Hijau-ku yang  becek sebab hujan beberapa hari ini. Riuh suara kami, sejawat Julita yang sejak tadi membujuk kami untuk menonton pertandingan sore ini. Tak lain dan tak bukan ya karena Subing, anak Taruna Bangsa itu menjadi satu dari sebelas perwakilan sekolahnya dalam pertandingan ini.
“ ayo Prat, teriakin SUBING gitu, biar dianya gerogi’’ ajakku penuh semangat.
Aku. Ya memang aku yang paling bersemangat diantara mereka. Gadis cilik berkerudung cokelat dengan name tack bertuliskan ‘Grandisch’ disudut dada kanannya.
‘’ hih wong aku belum tau yang namanya Subing geh..’’
‘’ heleh itu loh…’’ tunjukku
“subing.. subbing, ayo subbing, ini ada Julita loh’’ godaku
Riuh sudut lapangan Sekolah Hijau sore ini dengan teriakan khas kami menggoda si Julita.
‘’ Seta, di cariin tuh kamuuuu..’’
Suara dari sudut belakang, ya aku kenal suara itu. Yoga.
‘’ sama siapa Ga?’’ aku menghampirinya
‘’itu loh sama kak*&^%’’ suara Yoga samar menjauh ke arah kelas XI IPA 3
‘’siapa sih?’’ tanyaku penasaran sambil membalas pesan singkat dari Kak Ferdi
Aku beranjak kearah sosok Yoga. Tapi tak ada tanggapan lebih lanjut. Sesegera mungkin ku berbalik arah kembali ke lapangan sepak bola yang digenangi air itu.
‘’ Seta..’’ ada yang memanggilku lagi.
Siapa sih ? heran deh…
‘’ sini dulu kamu itu.. sombong bener’’ ujar lelaki berkaos putih yang sedang duduk berasama tiga kakak kelas wanita ku itu.
Samar-samar aku melihatnya, yah terpaksa karena akomodasi organ lakrimalku yang kian menipis kemampuannya.
“ siapa sih?’’ aku semakin mendekat dan semakin jelas bayangan sosok itu.
“ oh alah bang bang.. dirimu to? Tak kirain siapa. Ada apa ? tumben betol mampir ke SMA”
“ ehh kamu ini. Ada bisnis lagi. Duduk sini dulu” ujarnya sambil memyimggahi ku untuk duduk disampingnya.
‘’ semakin nyaman dan semakin nyaman. Relaksasikan sejenak tubuh anda, semakin rileks dan semakin rileks masuki alam bawah sadar anda’’ ujar lelaki itu pada salah satu dari ketiga kakak kelasku yang mulai tertidur.
Putra nama lelaki itu. Aku hanya tersenyum melihatnya. ‘abang’ begitu sapaan ku biasanya yang memang sudah mulai akrab sejak aku duduk di bangku SMP karena kelompok tarbiyah. Hypnotherapist. Mahasiswa yang mulai naik daun dan banyak yang mengagumi karena kepiawaiannya memotivasi. Trainer termuda di Indonesia. Halnya sosok yang benar-benar menjadi seorang ‘abang’ bagiku. Tapi aku mulai gerah dengan sikap sok kewibawaannya saat ini. Songong abang tu sekarang.
Aku terbiasa berkata sekenan hatiku padanya, seperti saudara kandung. Ya. Ini lah aku. tak bosan aku mengingatkannya untuk selalu beristiqomah atas ujian Allah lewat namanya saat ini.
“ ya kalo tipikal orang sugestif emang enak banget ngipnotisnya’’
‘’nah itu gimana sih kak  Kita itu bia rbisa jadi orang sugestif?’’ Tanya kak Lani
‘’ itu sih ya tergantung kita bisa focus atau nggaknya. Sering-sering aja latihan.”
Banyak yang ia ajarkan untukku, tak lebih sebab ia juga tak memiliki adik perempuan. Dari mulai melatih emosi, menarik simpati guru akan hasil karya ku, berbicara tanpa diiringi emosi, mengolah emosi sampai berbisnis.
‘’ ish abang ni, kenapa sih laa?’’ protesku padanya.
“ sebentar dulu toh.. ada waktu kita ngomongin bisnis berdua’’
“sholat dulu yuk Ta..’’ ajak Pratiwi yang tanpa kusadari menghampiriku.
‘’ udah sholat belum kamu itu Ta? Sholat dulu laah..”
‘’heeee iya deh iya”
Aku beranjak meninggalkan empat insan itu untuk menyegarkan tubuhku dengan basuhan air suci penuh kasih Tuhan itu. Menyegarkan batin ku yang tertekan seharian ini. Jam diponselku menunjukkan tepat tujuh belas nol-nol.
Lima belas menit aku berkencan dengan kekasihku itu. Ku lihat samar-samar, beberapa orang mendendangkan pandangannya pada atraksi bang Putra dibawah pohon yang sebagian dahan disisinya tumbang tepat didepan kelasku itu. Aroma senja mulai merebak sebagian dadaku yang sering sesak beberapa hari ini.
Pancaran rasa penasaran Pratiwi terpancar jelas lewat matanya tentang hypnotherapy itu.
‘’ kamu mau belajar hipnotis to Seta ?”
“ nggak tuh.. ngapa ? kamu pengen ya?”
“nggak..” senyum ragu Pratiwi membumbui jawabannya itu.
“kalo aku belajar apa kamu mau ikut?”
“mau mau..”
“hii.. dasar”
Kami beranjak meninggalkan Rumah Tuhan menuju kerumunan masnusia yang saat ini gemar melenggangkan kata-kata berbau hypnotis. Ada seonggok rasa tidak suka bergejolak dalam dada ku sebab waktu yang tersita senja ini.
‘’ abang.. ayo lagi lah. Mau ngomongin apa sama Seta?’’
“ sebentar dulu toh Seta kamu ini. Eh liat dulu baju abang ini, khas minang. Bagus kan?”
“ish.. males betol. Songong abang ini.”
“astaghfirullah..” dia terbahak
“hih emang geh.”
“abang mau ke Kalimantan insyaallah Maret besok”
“la terus ngapa ngomong-ngomong ke aku geh? Songong betol loh abang ini.”
“sebel nih aku..” lanjutku
“ ye.. sebelnya termotivasi kan? Pingin keliling Indonesia geratis juga kan? Makanya masuk Komunikasi kayak abang”
“Seta mau masuk Psikologi UnPad kok”
“ya terserah.. bagus kok itu. Tapi pingin kayak abang kan?
“hih songong betol. Males aku dengernya”
“hahaha..” bang Putra terbahak.
“ih ngapa lah yaa.. ayo laa cepet lagi udah sore ini”
“coba angkat pupilmu tinggi-tinggi Prat”
“ya.. bagus. Puter” lanjutnya pada Pratiwi
“kalian berdua ini orang moderat. Susah disugestif. Sering nggak focus. Kalo ada masalah sering kepikiran terus. Gampang BT kan?”
Jeda beberapa saat.
“ iya.. kalo udah BT susah sembuh”
“sok tau!”
“eleh.. penasaran kan? Makanya belajar psikologi Komunikasi. Nih contohnya non verbal ya”
Bang Putra menutup tangannya, membuat kaku kak Wasti yang sedang berjalan.
“ah.. kak jangan buat mainan lah” kak Wasti protes
“iya..inilah orang cerdas”
Ia membuka tangannya dan kak Wasti berjalan secara normal lagi.
“iya lah.. emang kalo ditarik kesini ya kesini” bang Putra bergumam pada Pratiwi tanpa menatap kak Wasti
Kak Wasti menuju kearah kami.
“tapi kalo dilepas ya nggak kesini lagi”
Bang Putra asik mengerjai Kak Wasti. Pratiwi semakin tertarik. Jelas.
“lagi banyak masalah kan kamu Seta?”
“hehe.. kok tau?”
“mata kamu itu ngomong..”
“eleh sok-sok’an bener sih abang ini”
“astaghfirullah Seta. Mungkin kalo nggak kenal dari SMP dulu kamu nggak berani lah ngomong semaumu gini”
“hii.. emang geh ya”
Bang Putra beranjak dari posisi duduk jadi berdiri. Pratiwi, masih dengan perasaan penasarannya.
“ ayoo Lan, kamu geh coba di hipnotis. Aku mau lihat”
“ihh.. moh to. Kamu aja”
“ish.. aku mau liat kalo kamu yang di hipnotis lo Lan”
Aku beranjak menjemput tas dan helm merah marunku yang masih terpampar didepan kelas. Berserak. Berteman dengan beberapa tas teman pria ku yang masih asik dengan bola basket dilapangan tengah.
“ ayo.. liat bola dulu bentar yuk. Masih ada waktu lima belas menit lah” bang Putra mengajakku.
Kami duduk tepat didepan senja. Langit sore ini indah. Benar-benar lazuardi Tuhan yang tergambar lewat jingganya mentari. Hangat dan menggelora. Lukisan Tuhan tiada tara.
Beberapa pria sedang berebut bola disudut sana. Namun aku disini, sama sekali focus tidak menghampiriku sore ini. Beberapa hari ini memang semua yang ku rasa semakin berat.
“kamu itu lagi banyak masalah kan Seta?”
“iya bang..” aku tersenyum pada senja.
“kenapa sih bang orang-orang itu nggak bisa ngerti kebaikan kita. Kita udah baik, dianya malah gitu”
“santai dong ngomongnya. Pelan-pelan”
Suaraku memang sudah sedikit basah dihinggapi emosi yang bergejolak dalam diriku.
“masalah itu jangan dibuat jadi masalah. Kamu bakal temuin jawabannya besok kalo kamu udah bener-bener ngerti kehidupan Set”
“ banyak bener yang ada dikepalaku ini bang. Tapi aku nggak tau apa. Bingung mau pegang yang mana dulu”
Air mata kujatuh. Ntah sebab apa.
“aku tuh terlalu sering bilang ‘ya’ sama orang-orang”
“ih cengeng. Ngapa kamu nangis?”
Aku hanya tersenyum dan mengajak leherku untuk menari ke kanan dan kiri.
“ sama aja lah Seta, abang juga banyak masalah. Berapa organisasimu? Berapa tawaran lomba mu?”
“organisasi tiga tawaran lomba tujuh”
“bagus itu, semakin banyak organisasi, semakin banyak masalah dan semakin bagus untuk kamu. Semakin dewasa kamu lewat masalah-masalah itu”
“tapi aku ngerasa kayak nggak kuat gitu bang. Aku ini udah terbiasa terbuka sama mama tapi sekarang ini aku jadi individu tertutup”
“ya mama mu ngajarin jadi model kan?” bang Putra menggoda ku.
“aih abang ni.. tapi sekarang aku bener-bener mblunek sama semua yang aku rasain nih. Mungkin iya aku cerewet, atraktif, nggak bisa diem tapi aku nih capek bang. No one knows me as well as my self now”
“iya bagus lah itu. Kamu sangka abang nggak punya masalah apa? Abang ni kesini bawa banyak masalah. Buat apa juga orang lain tau kan?”
“aku sering ngerasa nggak pada adil aja bang. Temen-temen ku sering curhat sama aku”
“bagus itu. Semakin sering jadi tempat sampah semakin mudah kamu mempelajari hidup”
“tapi aku ngerasa nggak adil aja bang, kenapa mereka bisa aku denger tapi mereka nggak bisa denger aku. Aku juga mau didenger lo bang. Aku capek jadi pendengar terus.”
“nggak semua orang bisa jadi pendengar Seta. Beruntunglah kamu jadi pendengar itu”
“iya bang, nggak semua orang”
“allah kan bisa dengerin kamu. Ngapa ? lupa ya?”
Hatiku mendesis. Masyaallah…
“nggak ada yang bisa tolong kamu selain diri kamu sendiri Seta. Inget ! nggak! Bukan cowok yang kamu perluin. Bukan cowok yang bisa bantu kamu. Tapi diri kamu sendiri. Inget kata-kata abang”
Ya Rabbi.. ini jawaban yang selama ini ku nanti. Ya memang ini. Karena memang hanya diriku yang bisa membantu ku saat ini. Kemana aku  untuk Kekasih ku itu? Terlalu naif agaknya diriku selama ini.
‘’ aku tuh kurang bisa bersyukur bang”
“yuk pulang..”
Kami beranjak meninggalkan senja yang tersenyum itu. Selamat tinggal senja.
“ya.. itu lumrah kok. Sama aja. Abang juga sering gitu”
“masyaallah SMA, lapangan abang jadi jelek gini sih?” ujar mantan kapte basket Sekolah Hijau ini.
Halaman parkir semakin tampak. Hanya dua motor yang menemaninya. Merah dan hitam.
“besok ke sekolah bang?”
“iya pagi kayaknya. Ngapa?”
“aku mau oleh-oleh dari Padangnya”
“ya udah besok abang titipin aja ya. Eh Seta maafin abang ya?”
“buat apa?”
“nggak bisa ketawa kayak dulu lagi. Jaga wibawa” hahaha dia terbahak.
“ish males banget sih bang… songong abang ni!”
“kapan Seta bisa dihipnotis ya bang? Kok susah betol kalo dihipnotis abang”
“kapan-kapan. Jatuh cinta pula kamu nanti sama abang”
“songong !!”
Aku memang sukar untuk menerima sugesti-sugesti dari Bang Putra. Ntah karena factor aku memang benar-benar moderat atau karena aku malas menerimanya.
Ntahlah.. yang jelas yang kini ku tahu, senja menyibak jawaban yang selama ini ku cari. Inilah Grandisch Seta dengan segala keunikannya dan tetap dengan pendirian ku,no one knows me as well as my self. Karena memang bukan sosok pria yang kubutuh tapi kegigihanku untuk tetap berada pada jalanku, kesendirian dengan berjuta kasih dari mereka. Dengan semerbak aroma senja untukku menghampiri bingkisan Tuhan padaku. Aku harus berjalan, meninggalkan kelam cara ku atas masalah dan beban ku selama ini halnya diriku yang mulai pergi meninggalkan halaman parkir Sekolah Hijau ini bersama baying-bayang masa lalu.
Karena semangat ini kan terus mengembara mencari bingkisan itu dan tetap bersahaja diposisis semestinya. Jauh didalam dada ku. dan akulah Seta yang bermandikan kasih senja atas asa-asaku. Dan ini lah yang bisa ku beri pada kalian semua, perasaan kasihku yang tulus dan berjuta semangat dari seonggok hati ku. ya. Aku tetaplah Grandich Seta.
Jauh disana, hatiku berkata…
Aku lelah dengan semua ini semua beban yang meenghujam jiwaku. Jauh ke alam sana, alam dimana tak ada seorangpun dapat menjamahnya. Bahkan diriku sendiri enggan tuk sekedar menyapa sekilaspun. Ya rabbi, kenapa keringkihan ini menerobos masuk kedalam pilar-pilar hati yang lama telah ku bangun. Aku ingat masa itu, ketika perlahan aku mulai menghembus nafas-nafas pengharapan dengan seberkas senyum yang tersungging dalam ruh ku. aku butuh kesejukan itu. Tirani raga yang tetap berdiri dibawah naungan jiwa yang merangas. Tuhan merampas bingkisan yang baru ku coba untuk menengoknya. Aku marah atas semua ini, kemarahan ini melonjak membumbungi tempurung kepalaku. Namun aku benar-benar ringkih diatas pilar tangguh ini ya rabbi. Bantu aku meraajut pilar putih ku lagi Tuhan. Hanya dan hanya karena, tak seorangpun mampu menerobos dalam rasaku ini untuk meluapkannya ke udara. Menguap dan hilang terbawa fajar bersama ruh yang kian mencair.”