‘’yang mana sih yang mana?’’ tanyaku penasaran
‘’itu loh yang kaosnya nomer 18.’’ Jawab Adi menunjukkan sepupunya itu, Subing
“ alah yang mana sih?’’ Tanya Sila ikut nimbrung
‘’itu loh yang ditengah kaos kaki item’’
‘’heh laa.. yang itu toh?’’
‘’sama Muclik item cowokmu ya Jul’’ komentar Sila santai
‘’ ih apalah kalian itu. Udah sih. Malu saya lah’’
‘’ iya Jul, pendek lagi’’ Olan menambah-nambahi
‘’ya Allah, udah sih. Ganteng dia tu. Tinggi tau. Kalo dari deket tinggi, karena bajunya kegede’an aja makanya keliatan pendek. Ih udah lah. Malu saya tem’’ bela Julita
‘’ subing .. subing’’ teriakku.
‘’ ayo Juita semangatin si Subing biar dia gerogi..hahaha’’
Julita diam, mukanya memerah.
‘’hish apaan sih kalin. Malu euy malu’’
‘’ nggak apa-apalah biar si Subing gerogi terus kalah dan sekolah kita yang menag, ayo Jul..’’ teriakku.
Sore ini Tim Sepak bola sekolah Hijau tanding lawan Taruna Bangsa dilapangan sekolah Hijau-ku yang becek sebab hujan beberapa hari ini. Riuh suara kami, sejawat Julita yang sejak tadi membujuk kami untuk menonton pertandingan sore ini. Tak lain dan tak bukan ya karena Subing, anak Taruna Bangsa itu menjadi satu dari sebelas perwakilan sekolahnya dalam pertandingan ini.
“ ayo Prat, teriakin SUBING gitu, biar dianya gerogi’’ ajakku penuh semangat.
Aku. Ya memang aku yang paling bersemangat diantara mereka. Gadis cilik berkerudung cokelat dengan name tack bertuliskan ‘Grandisch’ disudut dada kanannya.
‘’ hih wong aku belum tau yang namanya Subing geh..’’
‘’ heleh itu loh…’’ tunjukku
“subing.. subbing, ayo subbing, ini ada Julita loh’’ godaku
Riuh sudut lapangan Sekolah Hijau sore ini dengan teriakan khas kami menggoda si Julita.
‘’ Seta, di cariin tuh kamuuuu..’’
Suara dari sudut belakang, ya aku kenal suara itu. Yoga.
‘’ sama siapa Ga?’’ aku menghampirinya
‘’itu loh sama kak*&^%’’ suara Yoga samar menjauh ke arah kelas XI IPA 3
‘’siapa sih?’’ tanyaku penasaran sambil membalas pesan singkat dari Kak Ferdi
Aku beranjak kearah sosok Yoga. Tapi tak ada tanggapan lebih lanjut. Sesegera mungkin ku berbalik arah kembali ke lapangan sepak bola yang digenangi air itu.
‘’ Seta..’’ ada yang memanggilku lagi.
Siapa sih ? heran deh…
‘’ sini dulu kamu itu.. sombong bener’’ ujar lelaki berkaos putih yang sedang duduk berasama tiga kakak kelas wanita ku itu.
Samar-samar aku melihatnya, yah terpaksa karena akomodasi organ lakrimalku yang kian menipis kemampuannya.
“ siapa sih?’’ aku semakin mendekat dan semakin jelas bayangan sosok itu.
“ oh alah bang bang.. dirimu to? Tak kirain siapa. Ada apa ? tumben betol mampir ke SMA”
“ ehh kamu ini. Ada bisnis lagi. Duduk sini dulu” ujarnya sambil memyimggahi ku untuk duduk disampingnya.
‘’ semakin nyaman dan semakin nyaman. Relaksasikan sejenak tubuh anda, semakin rileks dan semakin rileks masuki alam bawah sadar anda’’ ujar lelaki itu pada salah satu dari ketiga kakak kelasku yang mulai tertidur.
Putra nama lelaki itu. Aku hanya tersenyum melihatnya. ‘abang’ begitu sapaan ku biasanya yang memang sudah mulai akrab sejak aku duduk di bangku SMP karena kelompok tarbiyah. Hypnotherapist. Mahasiswa yang mulai naik daun dan banyak yang mengagumi karena kepiawaiannya memotivasi. Trainer termuda di Indonesia. Halnya sosok yang benar-benar menjadi seorang ‘abang’ bagiku. Tapi aku mulai gerah dengan sikap sok kewibawaannya saat ini. Songong abang tu sekarang.
Aku terbiasa berkata sekenan hatiku padanya, seperti saudara kandung. Ya. Ini lah aku. tak bosan aku mengingatkannya untuk selalu beristiqomah atas ujian Allah lewat namanya saat ini.
“ ya kalo tipikal orang sugestif emang enak banget ngipnotisnya’’
‘’nah itu gimana sih kak Kita itu bia rbisa jadi orang sugestif?’’ Tanya kak Lani
‘’ itu sih ya tergantung kita bisa focus atau nggaknya. Sering-sering aja latihan.”
Banyak yang ia ajarkan untukku, tak lebih sebab ia juga tak memiliki adik perempuan. Dari mulai melatih emosi, menarik simpati guru akan hasil karya ku, berbicara tanpa diiringi emosi, mengolah emosi sampai berbisnis.
‘’ ish abang ni, kenapa sih laa?’’ protesku padanya.
“ sebentar dulu toh.. ada waktu kita ngomongin bisnis berdua’’
“sholat dulu yuk Ta..’’ ajak Pratiwi yang tanpa kusadari menghampiriku.
‘’ udah sholat belum kamu itu Ta? Sholat dulu laah..”
‘’heeee iya deh iya”
Aku beranjak meninggalkan empat insan itu untuk menyegarkan tubuhku dengan basuhan air suci penuh kasih Tuhan itu. Menyegarkan batin ku yang tertekan seharian ini. Jam diponselku menunjukkan tepat tujuh belas nol-nol.
Lima belas menit aku berkencan dengan kekasihku itu. Ku lihat samar-samar, beberapa orang mendendangkan pandangannya pada atraksi bang Putra dibawah pohon yang sebagian dahan disisinya tumbang tepat didepan kelasku itu. Aroma senja mulai merebak sebagian dadaku yang sering sesak beberapa hari ini.
Pancaran rasa penasaran Pratiwi terpancar jelas lewat matanya tentang hypnotherapy itu.
‘’ kamu mau belajar hipnotis to Seta ?”
“ nggak tuh.. ngapa ? kamu pengen ya?”
“nggak..” senyum ragu Pratiwi membumbui jawabannya itu.
“kalo aku belajar apa kamu mau ikut?”
“mau mau..”
“hii.. dasar”
Kami beranjak meninggalkan Rumah Tuhan menuju kerumunan masnusia yang saat ini gemar melenggangkan kata-kata berbau hypnotis. Ada seonggok rasa tidak suka bergejolak dalam dada ku sebab waktu yang tersita senja ini.
‘’ abang.. ayo lagi lah. Mau ngomongin apa sama Seta?’’
“ sebentar dulu toh Seta kamu ini. Eh liat dulu baju abang ini, khas minang. Bagus kan?”
“ish.. males betol. Songong abang ini.”
“astaghfirullah..” dia terbahak
“hih emang geh.”
“abang mau ke Kalimantan insyaallah Maret besok”
“la terus ngapa ngomong-ngomong ke aku geh? Songong betol loh abang ini.”
“sebel nih aku..” lanjutku
“ ye.. sebelnya termotivasi kan? Pingin keliling Indonesia geratis juga kan? Makanya masuk Komunikasi kayak abang”
“Seta mau masuk Psikologi UnPad kok”
“ya terserah.. bagus kok itu. Tapi pingin kayak abang kan?
“hih songong betol. Males aku dengernya”
“hahaha..” bang Putra terbahak.
“ih ngapa lah yaa.. ayo laa cepet lagi udah sore ini”
“coba angkat pupilmu tinggi-tinggi Prat”
“ya.. bagus. Puter” lanjutnya pada Pratiwi
“kalian berdua ini orang moderat. Susah disugestif. Sering nggak focus. Kalo ada masalah sering kepikiran terus. Gampang BT kan?”
Jeda beberapa saat.
“ iya.. kalo udah BT susah sembuh”
“sok tau!”
“eleh.. penasaran kan? Makanya belajar psikologi Komunikasi. Nih contohnya non verbal ya”
Bang Putra menutup tangannya, membuat kaku kak Wasti yang sedang berjalan.
“ah.. kak jangan buat mainan lah” kak Wasti protes
“iya..inilah orang cerdas”
Ia membuka tangannya dan kak Wasti berjalan secara normal lagi.
“iya lah.. emang kalo ditarik kesini ya kesini” bang Putra bergumam pada Pratiwi tanpa menatap kak Wasti
Kak Wasti menuju kearah kami.
“tapi kalo dilepas ya nggak kesini lagi”
Bang Putra asik mengerjai Kak Wasti. Pratiwi semakin tertarik. Jelas.
“lagi banyak masalah kan kamu Seta?”
“hehe.. kok tau?”
“mata kamu itu ngomong..”
“eleh sok-sok’an bener sih abang ini”
“astaghfirullah Seta. Mungkin kalo nggak kenal dari SMP dulu kamu nggak berani lah ngomong semaumu gini”
“hii.. emang geh ya”
Bang Putra beranjak dari posisi duduk jadi berdiri. Pratiwi, masih dengan perasaan penasarannya.
“ ayoo Lan, kamu geh coba di hipnotis. Aku mau lihat”
“ihh.. moh to. Kamu aja”
“ish.. aku mau liat kalo kamu yang di hipnotis lo Lan”
Aku beranjak menjemput tas dan helm merah marunku yang masih terpampar didepan kelas. Berserak. Berteman dengan beberapa tas teman pria ku yang masih asik dengan bola basket dilapangan tengah.
“ ayo.. liat bola dulu bentar yuk. Masih ada waktu lima belas menit lah” bang Putra mengajakku.
Kami duduk tepat didepan senja. Langit sore ini indah. Benar-benar lazuardi Tuhan yang tergambar lewat jingganya mentari. Hangat dan menggelora. Lukisan Tuhan tiada tara.
Beberapa pria sedang berebut bola disudut sana. Namun aku disini, sama sekali focus tidak menghampiriku sore ini. Beberapa hari ini memang semua yang ku rasa semakin berat.
“kamu itu lagi banyak masalah kan Seta?”
“iya bang..” aku tersenyum pada senja.
“kenapa sih bang orang-orang itu nggak bisa ngerti kebaikan kita. Kita udah baik, dianya malah gitu”
“santai dong ngomongnya. Pelan-pelan”
Suaraku memang sudah sedikit basah dihinggapi emosi yang bergejolak dalam diriku.
“masalah itu jangan dibuat jadi masalah. Kamu bakal temuin jawabannya besok kalo kamu udah bener-bener ngerti kehidupan Set”
“ banyak bener yang ada dikepalaku ini bang. Tapi aku nggak tau apa. Bingung mau pegang yang mana dulu”
Air mata kujatuh. Ntah sebab apa.
“aku tuh terlalu sering bilang ‘ya’ sama orang-orang”
“ih cengeng. Ngapa kamu nangis?”
Aku hanya tersenyum dan mengajak leherku untuk menari ke kanan dan kiri.
“ sama aja lah Seta, abang juga banyak masalah. Berapa organisasimu? Berapa tawaran lomba mu?”
“organisasi tiga tawaran lomba tujuh”
“bagus itu, semakin banyak organisasi, semakin banyak masalah dan semakin bagus untuk kamu. Semakin dewasa kamu lewat masalah-masalah itu”
“tapi aku ngerasa kayak nggak kuat gitu bang. Aku ini udah terbiasa terbuka sama mama tapi sekarang ini aku jadi individu tertutup”
“ya mama mu ngajarin jadi model kan?” bang Putra menggoda ku.
“aih abang ni.. tapi sekarang aku bener-bener mblunek sama semua yang aku rasain nih. Mungkin iya aku cerewet, atraktif, nggak bisa diem tapi aku nih capek bang. No one knows me as well as my self now”
“iya bagus lah itu. Kamu sangka abang nggak punya masalah apa? Abang ni kesini bawa banyak masalah. Buat apa juga orang lain tau kan?”
“aku sering ngerasa nggak pada adil aja bang. Temen-temen ku sering curhat sama aku”
“bagus itu. Semakin sering jadi tempat sampah semakin mudah kamu mempelajari hidup”
“tapi aku ngerasa nggak adil aja bang, kenapa mereka bisa aku denger tapi mereka nggak bisa denger aku. Aku juga mau didenger lo bang. Aku capek jadi pendengar terus.”
“nggak semua orang bisa jadi pendengar Seta. Beruntunglah kamu jadi pendengar itu”
“iya bang, nggak semua orang”
“allah kan bisa dengerin kamu. Ngapa ? lupa ya?”
Hatiku mendesis. Masyaallah…
“nggak ada yang bisa tolong kamu selain diri kamu sendiri Seta. Inget ! nggak! Bukan cowok yang kamu perluin. Bukan cowok yang bisa bantu kamu. Tapi diri kamu sendiri. Inget kata-kata abang”
Ya Rabbi.. ini jawaban yang selama ini ku nanti. Ya memang ini. Karena memang hanya diriku yang bisa membantu ku saat ini. Kemana aku untuk Kekasih ku itu? Terlalu naif agaknya diriku selama ini.
‘’ aku tuh kurang bisa bersyukur bang”
“yuk pulang..”
Kami beranjak meninggalkan senja yang tersenyum itu. Selamat tinggal senja.
“ya.. itu lumrah kok. Sama aja. Abang juga sering gitu”
“masyaallah SMA, lapangan abang jadi jelek gini sih?” ujar mantan kapte basket Sekolah Hijau ini.
Halaman parkir semakin tampak. Hanya dua motor yang menemaninya. Merah dan hitam.
“besok ke sekolah bang?”
“iya pagi kayaknya. Ngapa?”
“aku mau oleh-oleh dari Padangnya”
“ya udah besok abang titipin aja ya. Eh Seta maafin abang ya?”
“buat apa?”
“nggak bisa ketawa kayak dulu lagi. Jaga wibawa” hahaha dia terbahak.
“ish males banget sih bang… songong abang ni!”
“kapan Seta bisa dihipnotis ya bang? Kok susah betol kalo dihipnotis abang”
“kapan-kapan. Jatuh cinta pula kamu nanti sama abang”
“songong !!”
Aku memang sukar untuk menerima sugesti-sugesti dari Bang Putra. Ntah karena factor aku memang benar-benar moderat atau karena aku malas menerimanya.
Ntahlah.. yang jelas yang kini ku tahu, senja menyibak jawaban yang selama ini ku cari. Inilah Grandisch Seta dengan segala keunikannya dan tetap dengan pendirian ku,no one knows me as well as my self. Karena memang bukan sosok pria yang kubutuh tapi kegigihanku untuk tetap berada pada jalanku, kesendirian dengan berjuta kasih dari mereka. Dengan semerbak aroma senja untukku menghampiri bingkisan Tuhan padaku. Aku harus berjalan, meninggalkan kelam cara ku atas masalah dan beban ku selama ini halnya diriku yang mulai pergi meninggalkan halaman parkir Sekolah Hijau ini bersama baying-bayang masa lalu.
Karena semangat ini kan terus mengembara mencari bingkisan itu dan tetap bersahaja diposisis semestinya. Jauh didalam dada ku. dan akulah Seta yang bermandikan kasih senja atas asa-asaku. Dan ini lah yang bisa ku beri pada kalian semua, perasaan kasihku yang tulus dan berjuta semangat dari seonggok hati ku. ya. Aku tetaplah Grandich Seta.
Jauh disana, hatiku berkata…
“Aku lelah dengan semua ini semua beban yang meenghujam jiwaku. Jauh ke alam sana, alam dimana tak ada seorangpun dapat menjamahnya. Bahkan diriku sendiri enggan tuk sekedar menyapa sekilaspun. Ya rabbi, kenapa keringkihan ini menerobos masuk kedalam pilar-pilar hati yang lama telah ku bangun. Aku ingat masa itu, ketika perlahan aku mulai menghembus nafas-nafas pengharapan dengan seberkas senyum yang tersungging dalam ruh ku. aku butuh kesejukan itu. Tirani raga yang tetap berdiri dibawah naungan jiwa yang merangas. Tuhan merampas bingkisan yang baru ku coba untuk menengoknya. Aku marah atas semua ini, kemarahan ini melonjak membumbungi tempurung kepalaku. Namun aku benar-benar ringkih diatas pilar tangguh ini ya rabbi. Bantu aku meraajut pilar putih ku lagi Tuhan. Hanya dan hanya karena, tak seorangpun mampu menerobos dalam rasaku ini untuk meluapkannya ke udara. Menguap dan hilang terbawa fajar bersama ruh yang kian mencair.”